Rabu, 04 Maret 2009

Catatan DPD Awal Tahun 2009

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) memberikan “Catatan DPD Awal Tahun 2009” yang disampaikan Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita didampingi Wakil Ketua DPD Irman Gusman di Jl Widya Chandra V No 26, Jakarta, Minggu (28/12). Acara silaturahim dengan jajaran pers tersebut sekaligus ajang urun rembug dan curah pendapat. Materi “Catatan DPD Menyambut Tahun 2009” terbagi tiga, yaitu kemajuan kerja DPD, persoalan bangsa dan negara yang menjadi ruang lingkup DPD, serta perkembangan politik, pemerintahan, dan perekonomian yang memerlukan penyelesaian segera. Menyangkut kemajuan kerja DPD, Ginandjar menegaskan, hingga akhir tahun 2008 DPD menghasilkan 162 keputusan yang terdiri dari 12 usul rancangan undang-undang (RUU); 87 pandangan dan pendapat atas RUU yang berasal dari Presiden maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); 39 hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang (UU), serta 24 pertimbangan atas anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).


Dari 12 usul RUU yang diinisiatifi DPD, 10 di antaranya diserahkan kepada DPR tetapi ditindaklanjuti hanya satu saja yaitu RUU tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DI Yogyakarta. “Beberapa usul RUU yang menurut hemat kami sangat penting justru belum ditanggapi DPR,” ujarnya. Misalnya, RUU lembaga keuangan mikro, agraria, dan kehutanan. Akibatnya, kemajuan kerja DPD tidak menampakkan hasil sesuai amanat UUD 1945 karena tanpa tanggapan memadai dari DPR maupun Pemerintah. DPD juga menyampaikan pandangan dan pendapat, hasil pengawasan, serta pertimbangannya kepada DPR dan Pemerintah. “Menurut hasil evaluasi DPD, ada respons yang cukup positif dari Pemerintah.”

Ketua DPD menyinggung usul amandemen UUD 1945 yang konsisten dengan penataan kelembagaan negara dan sistem pemerintahan. Menurutnya, DPD terus bergelut dengan substansi amandemen komprehensif sebagaimana harapan fraksi-fraksi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Yang sangat dipentingkan DPD adalah kejujuran menyikapi perkembangan sekarang yang belum sepenuhnya didukung aturan konstitusi. Jadi, diperlukan penyempurnaan UUD 1945. Sesuai pula dengan agenda Pemilihan Umum Tahun 2009, tanggal 10 April 2008 DPD mengajukan uji materi UU 10/2008 tentang Undang-Undang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau UU Pemilu terhadap UUD 1945. Uji materinya menyangkut dengan ketiadaan persyaratan domisili dan calon anggota DPD adalah pengurus atau anggota partai politik.


Amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tanggal 1 Juli 2008 telah diketahui khalayak. Namun, Ginandjar menyatakan, proses uji materi DPD memperoleh dukungan dari daerah dan kelompok masyarakat, termasuk analisis atau pakar dan praktisi sampai keterangan saksi dan ahli di sidang pleno MK. DPD menyimpulkan, rumusan UU Pemilu yang disepakati DPR dan Pemerintah saat Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen Jakarta, Senin, (3/2), mengindikasikan adanya konspirasi dan kooptasi elit untuk kepentingan kelompok, khususnya partai politik. Konsisten dengan penataan kelembagaan negara dan sistem pemerintahan itu pula, DPD memperhatikan secara khusus pembahasan Rancangan Undang-Undang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau RUU Susduk DPD yang masih berlanjut hingga ke tahun 2009. Selama pembahasan antara pimpinan DPR bersama pimpinan Panitia Khusus (Pansus) RUU Susduk DPR, dicapai kesepahaman orientasi dan arah kelembagaan negara khususnya DPD sebagai lembaga perwakilan di samping DPR.

Namun, menurut Ginandjar, DPD dan DPR tetap dalam koridor lingkup kekuasaan masing-masing sebagaimana ketentuan UUD 1945. Yang lebih dipentingkan DPD ialah praktik dan implementasi fungsi, tugas, dan wewenangnya (DPR maupun DPD) yang semata-mata untuk kepentingan rakyat dan daerah. “Orientasi bersama yang diinginkan bersama DPR dan DPD ialah penguatan sistem perwakilan atau sistem parlemen Indonesia yang optimal,” ujarnya. Sehingga, harus ikut dipikirkan penyempurnaan sistem pendukungnya yaitu kesekretariatjenderalan parlemen. Baik anggota maupun Sekretariat Jenderal DPD, sambungnya, telah mempersiapkan diri apabila efisiensi dan efektifitas fungsi, tugas, dan wewenangnya sesuai dengan UUD 1945. DPD dan DPR akan terus menerus mendiskusikannya melalui Pansus RUU Susduk DPR dan Tim RUU Susduk DPD. Mengantisipasinya, penghujung tahun 2008 DPD mempersiapkan instrumen sistem pendukungnya, yaitu pembentukan law center, budget office, dan natural resources center.

Menyangkut persoalan bangsa dan negara yang menjadi ruang lingkup DPD, Ketua DPD mengingatkan, gerakan reformasi tahun 1998 menyepakati otonomi daerah sebagai konsensus yang menghasilkan kebijakan desentralisasi melalui UU 22/1999 dan UU 32/2004. Yang menonjol dari kebijakan tersebut adalah pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah secara langsung atau pilkada. DPD memiliki banyak catatan kritis tentang penyelenggaraan pilkada. Yang dirasakan ialah berbagai ekses pilkada berindikasi seolah-olah implementasi otonomi daerah dalam tahap transisi dan perwujudan kesejahteraan rakyat belum mencapai ujungnya. Untuk itulah, DPD terus menerus mengikuti perkembangannya di lapangan dan mengidentifikasi masalahnya untuk menyempurnakan UU otonomi daerah.

Yang lain ialah masih lemahnya sistem evaluasi dan monitoring Pemerintah atas lay-out implementasi otonomi daerah, cluster kemajuan, dan perspektif kecepatan daerah otonom untuk mencapai otonomi daerah sesuai dengan tujuannya. “Beberapa daerah mengalami kemajuan yang baik dalam peningkatan daya saing, investasi. Beberapa daerah memiliki motivasi yang kuat untuk mengembangkan kemampuan daya saingnya. Tetapi, beberapa daerah mengalami kesulitan karena berbagai hambatan,” katanya. Untuk itulah, DPD terus menerus mendorong daerah-daerah dalam bentuk fasilitasi atau dukungan investasi dan perekonomian daerah.

Mengenai format hubungan pusat dan daerah, Ginandjar menyatakan, tidak menggembirakan yang diindikasikan dengan perbedaan prioritas program antarstrata pemerintahan (pusat dan daerah), penegasan kewenangan, dana transfer, perizinan, kehutanan, dan pertambangan. Praktik kepemimpinan daerah juga membuktikan betapa Gubernur kesulitan mendapat gambaran utuh tentang apa yang sedang dan telah terjadi di wilayah kabupaten/kota. Contohnya perbedaan prioritas Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dan bantuan langsung tunai (BLT) yang jelas-jelas menunjukkan distorsi format hubungan pusat dan daerah. Kelemahan supervisi dari pemerintahan atas kepada pemerintahan bawah serta trust building-nya merupakan masalah paling mendasar.

Selanjutnya, Ketua DPD menyoroti tenaga honorer pendidikan, pengalokasian 20% dana pendidikan dalam Anggaran Pendidikan dan Belanja Negara (APBN), kesejahteraan guru, Ujian Akhir Nasional (UAN), dan sekolah-sekolah yang memprihatinkan. Secara khusus, DPD terus menerus mendorong Pemerintah agar memperhatikan keseimbangan dan kesetaraan perlakuan antara guru pendidikan agama dan guru pendidikan umum serta antara guru swasta dan guru negeri. “Harus ada perlakuan yang lebih adil,” tukasnya.

Ginanjar juga mengingatkan agar mewaspadai indikasi kontradiksi yang berpotensi rawan menjelang Pemilu 2009. Beberapa indikasi kontradiksinya sebagai berikut:

  • Kontradiksi antara UU Pemilu sebagai dasar hukum penyelenggaraan demokrasi (soal calon DPD, calon independen, dengan penetapan calon terpilih.
  • Kontradiksi antara kebijakan energi menyangkut pengelolaan, transparansi, konversi, dengan harganya.
  • Kontradiksi antara UU Pornografi, aliran Ahmadiyah, dengan ajaran Lia Aminuddin atau Lia Eden.
  • Kontadiksi antara hasil pilkada, fatwa Mahkamah Agung, dengan penetapan Pemerintah.
  • Kontradiksi antara penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) dengan kebijakan mengatasi krisisnya.
  • Kontradiksi antara sistem parlemen bikameral dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
  • Kontradiksi penting dan tidak pentingnya perubahan kembali UUD 1945.
  • Kontradiksi menyangkut anggaran dan belanja, karena di satu sisi terjadi defisit dari 1% menjadi 2% APBN dan di sisi lain daya serapnya yang sangat rendah (hanya 6-65 %).
  • Kontradiksi antara kurangnya dana transfer dari pusat ke daerah yang membutuhkan dana pembangunan dengan dana alokasi disimpan dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI).


Menurut Ginandjar, indikasi kontradiksi tersebut harus diwaspadai karena bisa berkembang menjadi distrust. “Berkembangnya distrust secara luas akan mengandung potensi gejala gejolak sosial yang meluas dan simultan. Betul-betul akan sangat rawan. Kita semua harus mewaspadainya.” Bagi DPD, tahun 2009 merupakan tahun waspada. Untuk itulah, DPD mengajak semua pihak mewaspadai gejala-gejala itu dengan mengembangkan format penyelesaian secara institusional, apakah menyangkut masalah global finansial maupun penyelenggaraan Pemilu 2009 dan percepatan implementasi otonomi daerah.

sumber: Press Realese DPD.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar